Ketika Panggilan Bertemu Keberanian dan Martabat, Lahirlah Seorang Ksatria
Sumber photo: prodia.co.id |
Oleh: Endang Horayanda
I
have learned over the years that when one’s mind is made up, this diminishes
fear; knowing what must be done does away with fear
-Rosa
Parks
Hati nurani sungguh penggerak tangguh bagi
mereka yang memiliki kepekaan untuk mendengarkannya. Mahatma Gandhi, Martin
Luther King, Nelson Mandela, Bung Karno, adalah hanya beberapa dari banyak
teladan bagi dunia ketika panggilan demi memperjuangkan kebenaran mendorong
keberanian.
Rosa Parks, pejuang persamaan hak Amerika
Serikat di era setelah Perang Dunia II, juga termasuk dalam kelompok manusia
yang tak disurutkan keberaniannya menghadapi perjuangan persamaan hak sipil.
Bagi pejuang kebenaran, martabat maupun hati nurani, tak akan ada yang bisa
menghalangi jika di depan mata nampak tantangan untuk membawa perubahan. Apapun
korbannya. Bahkan risiko paling membahayakan sekalipun, akan dikalahkan oleh
tekad kuat mencapai pemenuhan panggilan hati nurani. Sebagian berjuang dengan
suara lantang, sebagian dalam sepi.
Teddy Kardin adalah contoh kesatria yang
berjuang dalam diam. Ia terlahir dengan gen keberanian yang melampaui
keberanian rata rata, diasuh dalam atmosfer dimana martabat harus
dipertahankan, dan karenanya banyak menuai pengalaman hidup yang membahayakan
diri namun dilakukan dengan penuh kesadaran demi menjaga martabat. Tiada hiruk pikuk dan umbar kebanggaan. Tanpa
berharap pujian ataupun penghargaan.
Membaca isi buku ini, menarik disimak
bagaimana Teddy Kardin menjalani hidupnya, karena apa yang kemudian menjadi
bagian dari karirnya bukanlah hasil dari ambisinya untuk mencapai jabatan yang
mentereng seperti kebanyakan orang, atau karena keinginan menimbun harta yang
banyak, dan juga bukan karena ia ingin dihormati.
Teddy memulai karirnya sebagai geolog
profesional sebagaimana lazimnya sarjana baru, segera setelah lulus sebagai
insinyur ITB. Tak sampai 10 tahun kemudian, ia sudah memiliki berbagai
pengetahuan dan keterampilan dalam mengenali potensi kandungan minyak di alam,
bukan semata berkat pendidikannya, namun juga berbekal pengalaman Kepanduan dan
Pramuka semasa kecil dan Wanadri semasa mahasiswa, serta ‘passion’ nya terhadap
karakter alam dan manusia yang mendiaminya.
Pengalamannya yang disertai bertambahnya
kemampuan navigasi di alam serta kemampuan untuk bertahan di alam yang berat,
terdengar sampai ke telinga militer sehingga ia diminta untuk membantu melatih
tentara agar dapat beradaptasi dengan alam. Sejak itu Teddy seperti tak pernah lepas
dari dunia militer, bukan hanya untuk mengalahkan alam melainkan juga untuk
membaca jejak musuh sampai ke sarangnya.
Teddy mengikuti kata hatinya untuk
mengembangkan ‘ilmu mencari’. Dengan modal pengalamannya mencari minyak,
batubara, air tanah dan mineral, ia bisa meramalkan arah pergerakan musuh,
memberikan arahan dimana saja musuh harus dihadang, sehingga tertangkaplah para
musuh Indonesia itu.
Peta operasi militer juga dimantapkan
dengan arahan Teddy tentang bagaimana karakter alam yang harus dilalui itu,
dimana saja jalan yang bisa dilalui oleh manusia, keberadaan logistik dari alam
berupa tanaman atau binatang yang bisa dimakan, keberadaan kampung yang akan
mendukung perjuangan tentara, serta dimana saja kemunculan musuh yang
terdeteksi.
Teddy bahkan ikut pula dalam operasi
militer, dan berjalan sebagai orang terdepan. Ilmu dan keterampilan Teddy
terpakai sejak Indonesia berjuang di Timor Timur sampai ke Papua, melacak jejak
para pelaku penculikan Tim Peneliti Lorentz 95. Panggilan hati untuk menolong
mereka yang disandera membuat Teddy tetap bersedia terlibat dalam operasi
militer. Bahkan dengan penuh kesadaran, ia tidak memperpanjang kontrak kerjanya
dengan perusahaan minyak bernama besar demi memenuhi panggilan negara.
Keputusan Teddy untuk turut serta dalam berbagai operasi, apakah penyelamatan
pasien, atau sandera, adalah panggilan demi kemanusiaan atau demi martabat
bangsa dan negara.
Sekelumit kisah Teddy dalam buku ini
hanyalah sebagian kecil saja dari cerita pertualangan dan kisah hidupnya. Kisah
bagaimana ia mengaplikasikan ilmu yang biasa ia gunakan ketika mencari minyak,
batubara, air tanah dan mineral-mineral serta saat menjadi analis SAR untuk
mencari orang hilang, yaitu Ilmu Mencari.
Bukannya tak ada kesempatan untuk Teddy
memperoleh keuntungan dari pilihan hidupnya tersebut. Berkali-kali ia diminta
untuk menerima honor atas jasanya membantu operasi militer di Timor Timur
maupun di Papua, tetapi Teddy selalu menolak. Prinsip yang dipegang dengan
teguh ia sampaikan kepada Prabowo Subianto (ketika itu sebagai Danjen
Kopassus): ”Bagi Bapak mungkin ini perang. Tapi bagi kami, Wanadri, ini adalah
SAR. Pantang bagi Wanadri menerima upah untuk tugas kemanusiaan”.
Tawaran seorang pejabat militer Amerika
Serikat untuk melatih pasukan mereka di Okinawa, Jepang, pun ditolaknya. Kali
ini alasannya adalah kecintaannya pada bangsa dan negara:
keterampilan-keterampilan khusus yang didapatnya dari kearifan lokal masyarakat
adat di Nusantara, seperti Suku Dayak dan lain sebagainya sebaiknya hanya dimiliki
oleh Kopassus Indonesia. Itulah yang akan membedakan Kopassus Indonesia dengan
pasukan negara lain. Padahal, ia sudah
dianugerahi ‘green beret’ oleh Kapten Greg White (anggota pasukan US Army
Special Force) yang sangat mengagumi kemampuannya.
Teddy adalah sosok yang ‘merdeka’ dalam
menentukan sikap. Ia tidak bergantung pada uang, atau penghargaan yang akan
diterimanya, atau desakan orang yang berusaha mempengaruhinya. Sikapnya
bergantung pada prinsip yang dianutnya. Martabat diri dan bangsa adalah salah
satunya. Apapun atau siapapun tak akan bisa mengusiknya. Pola asuh dari rumah,
oleh seorang Ayah yang keras dan seorang Ibu yang halus dan lembut, membuat
Teddy bertumbuh menjadi seorang yang juga keras namun penuh welas asih bagi
orang yang berada pada posisi lemah. Ketika datang panggilan untuk membantu,
Teddy akan siap sedia.
Bersikap rendah hati, low profile, adalah
perangai yang juga ditunjukkannya. Sejumlah penghargaan yang diterimanya,
seperti Satya Lencana Dharma Nusa (dari Presiden ketika itu, Susilo Bambang
Yudhoyono), baret kehormatan dari Danjen
Kopassus (Prabowo Subianto), baret kehormatan dari Korps Marinir TNI AL Mayor
Alfan), baret kehormatan DENBRAVO-PASKHAS TNI-AU, baret kehormatan Satuan Brimob
Daerah Jawa Barat, baret kehormatan Batalyon Infanteri 328 Kostrad, baret
kehormatan Batalyon Infanteri 330 Kostrad, ia terima bukan karena diminta atau
diharapkannya melainkan atas upaya beberapa sahabat dan teman.
Sikap rendah hati itu hingga kini masih
kental melekat pada dirinya. Bukti kuatnya, ia sudah dijuluki Empu Pisau
Indonesia melalui pisau buatannya yang sudah dimiliki oleh penggemar di 12
negara di dunia. Pisau Teddy Kardin saat ini sudah melegenda, dibuat dalam
berbagai bentuk dan fungsi, serta diakui dunia dengan antara lain diperolehnya
pengakuan oleh American Iron Standard Institute. Apakah ia membanggakan diri
atas keberhasilan itu? Tidak.
Bagi Teddy Kardin, perbuatannya adalah konsekuensi dari prinsipnya. Setiap tindakan diputuskan lalu dilaksanakan. Jika ada risiko, disiapkan mitigasinya. Tidak ada langkah mundur. Dan semua dijalani sepenuh hati. Seratus persen, tanpa kompromi. Cukup. Tanpa harap kembali. Karena perjuangan mempertahankan martabat membutuhkan keberanian. Bukan untuk mendapat balasan. Melainkan untuk memenuhi panggilan.
Jakarta, Agustus 2023