Melarung sampai ke Sarang Burung

Teddy Kardin, The Shadow Knight, Wanadri, Kopassus, pelatihan Kopassus di Kalimantan, Kopassus berlatih pada orang Dayak, Wanadri
Hutan Kalimantan Tampak dari atas

Oleh : Alexander Mering

Meskipun seminggu berada di Long Apari, tak terlalu banyak kegiatan yang dapat dilakukan para peserta selain berlatih membaca dan menganalisa peta. Lagi pula para peserta perlu melepas penat, setelah melakukan perjalanan yang bukan main hebat medannya.

Untuk ke 30 orang anggota Kopassus, memang bukan soal yang sulit ketika diminta membaca dan menganalisa peta. Karena sejak di Pusdik Passus dulu, Buku I Himpunan Naskah Kursus Komando tentang navigasi darat tahun 1992 adalah bacaan wajib setiap siswa. Mulai urusan skala peta, tujuan penggunaan peta, kenampakan peta, hingga proyeksinya.

Demikian juga bagi Ciko dan salah seorang rekannya sesama anggota Wanadri. Sejak pendidikan dasar, semua anggota Wanadri harus bisa membaca peta dan membuat analisis medan. Tak terkecuali 20 orang prajurit dari dua batalyon Kodam setempat yang diikutkan dalam pelatihan tersebut. Sejak awal pendidikan menjadi prajurit mereka telah diajarkan ilmu medan. 

Suatu sore saat duduk minum kopi di beranda rumah Mantan Kepala desa (Kades) tempat mereka singgah, Pak Sekuniq bertanya kepada Lawing.

“Lawing. Apa bah yang mereka sebut-sebut tu…”
“Yang mana?”
“Proyeksi polyeder, proyeksi el-ce-o dan te-em, jarak fiktif….”
“Entah bah. Aku bukan tentara….”
“Tapi Kamu kan pernah ikut ke Timtim….”
“Dah lupa bah….”

Lawing garuk-garuk kepala. Meskipun ia pernah membaca peta yang selalu dibawa Teddy ke hutan, dan juga pernah belajar singkat membaca peta sebelum berangkat ke Timor Timur dulu, tapi yang dibahas Mayor Hamdan dan pasukannya itu ia tak mengerti. Untuk Lawing itu terlalu teknis. Ia pun menyarankan Pak Sekuniq bertanya pada salah seorang prajurit Dayak dari Samarinda yang juga ikut bergabung dalam pelatihan tersebut.

Dari Long Apari pasukan kemudian berjalan kaki menuju perbatasan antara Kaltim dan Kalteng, yaitu di sungai kecil, anak sungai Busang. Warga setempat menyebutnya sungai Bekohu. Dalam rombongan itu juga turut serta seorang mantan Kades yang menawarkan diri menjadi penunjuk jalan.

Mayor Hamdan memperkirakan jarak tempuh dari Long Apari ke Sungai Bokohu paling-paling 1 hari. Tapi ternyata rombongan berputar-putar hingga 3 hari 3 malam melarung di dalam hutan. Akhirnya mereka tembus ke kawasan hutan yang seperti komplek perbukitan atau dataran tinggi yang menjadi pemisah antara wilayah Kalimantan Timur dengan Kalimantan Tengah.

Ciko sempat terheran-heran karena tanah di bawah pohon terlihat bersih tanpa rumput, karena kanopi hutannya lebat sekali. Hanya serasah-serasah basah yang berserakan di tanah. Di antara serasah-serasah terdapat banyak sekali pecahan keramik yang entah sejak zaman kapan berada di situ.

Di sebelah bawah, di antara dinding-dinding batu terdapat beberapa gua batu tempat burung-burung walet membuat sarang. Dari situlah mantan Kades guide membawa mereka berjalan berputar-putar sampai ke lokasi medan yang semakin sulit. Ketika rombongan baru menuruni ngarai, tiba-tiba terdengar sebuah letusan senapan rakitan dari arah salah satu dinding gua batu.

Meskipun dalam keadaan waspada tetapi rombongan tentara itu sama sekali tak menduga ada penembak gelap yang berani membokongi mereka. Syukurlah tak ada yang terkena peluru. Mungkin juga tembakan itu hanya gertak sambal saja dari salah satu begal gua sarang walet.

Tentu saja tak ada tentara yang sudi membiarkan dirinya digertak, apalagi anggota Kopassus! Karenanya hanya dalam hitungan detik, tembakan balasan dari senapan M-16 langsung bergema bercampur makian beberapa anggota tentara yang marah.

Ja***k, kowe!”
“Makan tuh peluru…!”
“Tretetettttt…tretttt…tretttettt…!”
“Tretetettttt…tretttt…tretttettt…!”

Lalu senyap. Tak ada balasan sama sekali dari arah tebing. Dengan penasaran beberapa anggota pasukan bergerak zig-zag mencari sumber suara tembakan. Tapi rupanya si penembak misterius dan gengnya sudah lari lintang pukang.

Mereka baru sadar kalau sudah salah orang. Apalagi tembakan balasan itu jelas dari senjata organik TNI. Mengira satu peleton tentara itu datang untuk menyerbu, tentu saja mereka lari terbirit-birit. Terlihat dari bekas jejak yang mereka tinggalkan kabur, jelas mereka sangat tergesa-gesa.

Api di tungku di gua itu pun masih menyala. Bahkan semua bekal logistik tak ada yang sempat mereka bawa. Beras, gula, garam, dus mie instan, panggang babi hutan, daging rusa asap, bahkan sarang walet yang baru saja dipanen teronggok di lantai gua. Dilihat dari jejaknya diperkirakan jumlah mereka sekitar 5-6 orang saja.

Bukan main gembiranya para prajurit yang kelaparan karena menemukan makanan berlimpah di tengah hutan setelah tiga hari hanya makan seadanya. Para tentara itu pun tak berniat mengejar. Apalagi mantan Kades yang menjadi penunjuk jalan mengklaim bahwa sebenarnya gua itu adalah milik keluarganya walaupun gua-gua tersebut berada di wilayah Kalimantan Tengah.

Seorang prajurit mengernyitkan keningnya. Merasa ada yang janggal ia langsung bertanya.

“Pak mantan. Sebenarnya kita ini sudah di mana?”
“Kalteng, Pak.”
“Tapi kata bapak, gua-gua itu milik bapak semua.”
“Kami yang pertama kali menemukannya.”
“Lalu orang-orang yang menembak kita tadi?”
“Mereka perampok, menyerobotnya dari saya.”
“Jadi?”
“Makanya sengaja saya ajak lewat sini.”
“Oalah Pak, Pak….”
“Dasar mantan!”

Bukan main jengkelnya prajurit itu. Tapi untunglah ia lebih memilih makanan daripada marah. Usut punya usut ternyata mantan Kades itu sengaja mengajak rombongan pasukan tersebut melewati rute itu. Ia ingin show force kepada orang-orang yang konon nya telah merampas gua-gua sarang waletnya tersebut.

Bisnis sarang burung walet jenis Collocalia vestita dari gua-gua alam memang sangat lazim dilakukan oleh orang-orang Dayak, terutama orang Punan di kawasan hulu Sungai Mahakam maupun Sungai Barito di Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Tak jarang terjadi konflik di antara kelompok di sana karena berebut gua-gua sarang walet tersebut. Sebab satu kilogram sarang burung walet pada saat itu nilainya sekitar Rp 1,7 juta.

LihatTutupKomentar
Cancel