Negara Memanggilmu Hari Itu

Teddy Kardin, The Shadow Knight, Teddy Kardin Operasi Seroja, Teddy Kardin di Timor Timur

 


Oleh : Alexander Mering

Jakarta berhujan. Dari loudspeaker hotel Teddy mendengar lagu blues. Ia melirik keluar jendela yang terguyur air. Beberapa tukang ojek berteduh di emperan jalan dengan wajah yang muram. Teddy segera mengalihkan pandangannya ke secangkir kopi porselin berlogo kipas yang mulai dingin di meja. Dengan perasaan enggan ia menyeruputnya lagi. Cukuplah semalam ia meringkuk kedinginan di kamar ber-air conditioner (AC) hotel tersebut.  

“Jika Pak Teddy tak jadi menginap di hotel, biaya akomodasi, konsumsi dan transportasi akan diberikan dalam bentuk tunai.” 

Demikian kata seorang staf pagi tadi, saat Teddy menelpon ke kantor administrasi Elf Aquitaine[1] perusahaan minyak dari Perancis tempat ia bekerja. Kantor itu berada di lantai 9 gedung Bank Bumi Daya (BBD), persis di seberang hotel tempat ia menginap. 

Staf tersebut juga menerangkan bahwa Teddy akan dibayar $150 per hari, yang terdiri dari uang akomodasi $100, uang makan $25 dan uang transportasi $15, plus tunjangan lainnya sekitar $10. Kalau demikian maka di luar gaji bulan ini Teddy bisa mengantongi $4.500! “Cihui!” pekiknya dalam hati.  

Teddy senyum-senyum sendiri mengingat hal tersebut. Maka semakin mantaplah keputusannya untuk segera check out. Sementara di lobby tampak beberapa tamu sedang mondar-mandir dengan wajah gelisah. Barangkali karena taksi yang ditunggu-tunggu tak kunjung tiba, sementara hujan di luar bertambah deras. 

Baca juga: Mengayau Musuh Negara

Sekarang pun Teddy merasa kesepian di lobi Hotel Mandarin itu. Bahkan gitar B.B. King yang menjerit-jeritkan Three O'Clock Blues di loudspeaker sama sekali tak dapat menghiburnya. Padahal perusahaan telah menyewa kamar hotel tersebut untuk Teddy agar ia bisa nyaman menyelesaikan semua laporan proyeknya di tempat itu. 

Hotel Mandarin tak hanya sangat strategis karena berada tepat di depan bundaran HI, tetapi juga salah satu hotel paling mewah di Jakarta pada masa itu. Menurut laporan koran The Business Times, Singapura, Lantai hotel tersebut bahkan berkelir keramik asli Italia. Teddy hampir yakin, tarifnya bisa bikin mencret orang Indonesia. Seharusnya ia merasa beruntung diinapkan sebulan penuh di hotel itu! 

Tapi Hotel memang bukan tempat yang dirindukan orang seperti Teddy. Karena dia malah merindukan lumut di hutan, bukan duduk di sofa hotel yang empuk. Ia ingin mendengarkan suara jangkrik daripada alunan musik blues. Teddy lebih suka menikmati bau tanah yang basah daripada aroma pengharum ruangan. 

Barangkali karena lebih dari separuh hidup Teddy dihabiskannya di hutan. Tak hanya karena pekerjaan sebagai geolog tetapi juga karena sejak SMP ia sudah sangat akrab dengan alam terbuka saat berburu dengan sang ayah. 

Sekali lagi Teddy melirik para tamu asing yang mengobrol seakan-akan semuanya sedang menunggu. Tapi hujan Jakarta belum juga reda. Sementara B.B. King masih saja menyalak, meneriakkan bagian akhir Three O'Clock Blues. Teddy menyeruput lagi kopinya. Ia tak ingin membiarkan hujan Jakarta membuat perasaannya terseret sendu. Teddy tinggal check out, lalu berangkat ke Jalan Senopati, Jakarta Selatan, ke sebuah kantor yang namanya bukan main aneh dan agak terdengar mellow: Mawar Biru! 

Menjelang makan siang Teddy menenggak sisa kopinya hingga tandas, meraih kunci mobil dan menggendong tas. Lalu melangkah keluar, meninggalkan lobi hotel yang resepsionisnya selalu harum dan tersenyum ramah. Tekadnya sudah bulat, ke Mawar Biru! Ia akan menginap dan mengerjakan semua laporannya di kantor itu meski tidak ada pengharum ruangan dan tempat tidur yang empuk. 

Kantor Mawar Biru adalah milik Iwan Abdurahman, seorang pendaki gunung dan seniman musik asal Bandung yang karya-karyanya populer lewat grup band Bimbo dan juga penyanyi Vina Panduwinata. Selain itu Iwan juga adalah sedikit dari orang Indonesia yang pernah mendapat pelatihan Basic Counter Terrorism di Many Hawks, Georgia USA dan Frank Camper Long Range Patrol School di Alabama, Amerika Serikat tahun 1986. Karena itulah ia kerap diundang pihak militer Indonesia untuk memberi pelatihan kepada Pasukan Khusus (Kopassus). 

Nama kantor tersebut pun diambil dari salah satu lagunya yang berjudul Mawar yang Terbiru. Sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang distribusi berbagai produk pertanian dan event, serta mengurus berbagai proyek swasta maupun pemerintah sekaligus tempat berkumpul para anggota Wanadri. 

Teddy memanggil Iwan Abdurahman dengan sebutan Kang atau Abah Iwan karena lelaki itu adalah seniornya di organisasi Wanadri. Teddy sangat mengagumi pria berotot yang rajin olahraga dan menguasai berbagai teknik seni bela diri tersebut. Bahkan salah seorang adik Teddy belajar silat kepada Abah Iwan. 

Tak hanya kedekatannya pada Abah Iwan yang membuatnya pindah ke Mawar Biru ketimbang ngedon sendirian di hotel, tetapi karena Mawar Biru juga merupakan tempat berkumpul teman-teman Teddy sesama anggota Wanadri. 

Teddy lebih bahagia bisa bermalam di kantor Abah Iwan di Jalan Senopati yang sumpek daripada kamar mewah di Hotel Mandarin yang membuatnya sering bersin dan tak bisa merokok sesuka hati. Di kantor Abah Iwan ia bebas ngobrol ngalor ngidul, ngopi dan merokok tanpa khawatir ditegur security. 

Meski hujan ibu kota belum reda tetapi Teddy tetap tancap gas. Land Rover kesayangannya meliuk-liuk di jalan ke arah selatan, menembus tirai hujan. Pasti teman-temannya sudah tak sabar menunggu yang berjanji akan mentraktir mereka makan siang. Dengan gaji dollar yang ia terima setiap bulan bukan masalah bagi Teddy sesekali mentraktir Abah Iwan dan beberapa rekannya hari itu dengan nasi Padang. 

*** 

Hari kedua di Kantor Mawar Biru Teddy kedatangan tamu. Ia sedang membaca koran ketika dua pria gagah nyelonong masuk. Salah seorang yang bertubuh sedang bertanya kepada pegawai kantor. 

“Pak Teddy ada?”

“Ada Pak, silahkan masuk.”

“Siap…!” 

Kedua pria tersebut ternyata adalah anggota ABRI. Abah Iwan menyambut mereka ramah sekali. Sementara Teddy tak mengenal tamu-tamu tersebut. Abah Iwan berbisik ke Teddy, kalau salah satu dari tamunya itu adalah Mayor Prabowo Subianto.[2] 

Abah Iwan mempersilahkan kedua tamunya masuk ke ruang meeting. Di sana ada meja besar dan beberapa kursi dan tumpukan koran. Teddy masih mematung, tak tahu harus bicara apa ketika Abah Iwan mengajak kedua tamunya duduk. Beberapa waktu lalu Abah Iwan memang pernah mengatakan kalau Komandan Batalyon Infanteri 328 Kostrad itu ingin bertemu dengannya. 

Waktu itu Teddy belum tahu kalau Prabowo adalah menantu Presiden Soeharto. Sedangkan Abah Iwan memang sudah cukup lama menjalin persahabatan dengan perwira tersebut. Abah Iwan bahkan sudah sering dimintai Prabowo melatih pasukannya. 

Setelah basa basi, Prabowo mengemukakan maksud dan tujuannya. Rupanya Teddy dimintai Prabowo melatih pasukannya dalam hal keterampilan navigasi hutan dan membaca peta, terutama sebelum mereka dikirim ke Timor Timur. 

Pada saat itu Indonesia memang sedang sibuk menghadapi perlawanan dari para gerilyawan Frente Revolucionária de Timor Leste Independente (Fretilin) di Timor Timur, yaitu sebuah wilayah bekas jajahan Spanyol yang pada 17 Juli 1976 menjadi provinsi ke 27 Indonesia.[3] Berintegrasinya negeri Timor Lorosa'e (Bahasa Tetun) dengan Indonesia merupakan buah dari Operasi Seroja yang dilakukan oleh ABRI dimulai sejak 7 Desember 1975. 

Sementara itu sebulan sebelumnya yaitu tanggal 11 September 1975 pimpinan UDT: Lopes da Cruz, Ir. Mario Carrascalao, Joao Carrascalao, dan Nacimento, telah membuat keterangan pers di Batugade yang menyatakan bahwa partai Apodeti, UDT, Kota dan Trabalista, sudah membuat petisi dan deklarasi penggabungan Timor Timur dengan Indonesia.[4] 

Operasi militer tersebut dilakukan setelah sayap bersenjata Fretilin yang disebut Forças Armadas da Libertação Nacional de Timor-Leste (Falintil) menimbulkan korban sekitar 60.000 penduduk sipil[5] yang sebagian besar korbannya adalah pendukung faksi integrasi dengan Indonesia. 

Tak kurang dari 35 ribu tentara dikerahkan ke Timor Timur sejak tahun 1975. Ini adalah operasi militer terbesar yang pernah dilakukan dalam sejarah Indonesia. Selain dari jumlah pasukan, operasi ini juga melibatkan seluruh matra, baik darat, laut dan udara serta berbagai kesatuan dalam tubuh ABRI. 

Di Timor Timur pula Prabowo memulai karirnya, tahun 1976 silam sebagai komandan peleton. Pangkatnya Letnan Dua (Letda) kala itu. Prabowo bergabung dengan pasukan Nanggala 10 di bawah Komando Mayor Inf Yunus Yosfiah. Konon kabarnya pasukan Prabowo-lah yang berhasil menangkap Ketua Fretilin yang menjadi Perdana Menteri Timor Leste kala itu, yaitu Nicolau dos Reis Lobato. 

Sekarang Prabowo berada tepat di hadapan Teddy.  Pangkatnya sudah Mayor dan telah menjadi Komandan Batalyon Infanteri (Yonif) Linud 328/Dirgahayu pula. Tentu saja dengan jabatannya yang mentereng itu Prabowo memiliki kewenangan yang lebih besar dan membutuhkan banyak Tenaga Bantuan Operasi (TBO) serta orang-orang profesional seperti Teddy. Setelah menerangkan itu dan ini, akhirnya Prabowo langsung ‘menembak’ Teddy dengan pertanyaan kunci. 

“Bagaimana? Anda bersedia bantu?”

“Maaf Mas, bukannya saya menolak, tetapi sekarang saya masih dikontrak oleh Elf Aquitaine, perusahaan minyak Perancis,” ujar Teddy tanpa bermaksud menyombongkan diri. 

Mendengar jawaban Teddy, Prabowo tampaknya agak kurang senang. Air mukanya yang tadi ramah langsung berubah. Sekarang Teddy pula yang merasa tak enak hati. Ia langsung berusaha memberikan penjelasan tambahan. Tetapi Prabowo lebih dulu melontarkan kalimat dengan nada yang kurang enak di telinga Teddy. 

“Ini bukan untuk Prabowo, tapi untuk merah putih. Anda bantu asing mau, bantu negara sendiri tak mau!”

“Bukan begitu, sa..…” 

Merah putih yang dimaksud Prabowo adalah bangsa Indonesia yang diasosiasikannya dengan warna bendera kebangsaan, yaitu sang saka merah putih. Teddy yang baru saja hendak menyambung penjelasannya, langsung dipotong Prabowo lagi. Ia merasa ditekan. Apalagi ia baru sadar kalau Abah Iwan sudah tidak ada lagi di ruangan. Seniornya itu menganggap pembicaraan antara Mayor tersebut dengan Teddy adalah confidential. 

“Berapa Anda dibayar di sana? Saya akan bayar jumlah yang sama.” 

Teddy semakin merasa tak nyaman. Meskipun Prabowo mungkin hanya bermaksud membujuknya, tetapi perkataan itu membuat ia tersinggung berat. Egonya terganggu oleh kata-kata “dibayar berapa. Dan membantu asing.” Padahal saat ini kebetulan saja ia sedang dikontrak Elf Aquitaine yang membutuhkan keahliannya. 

Bekerja pada perusahaan asing bukan berarti ia tidak nasionalis. Teddy senang bekerja di sana karena ia berkesempatan mengaplikasikan langsung ilmu yang didapatnya dari kampus. Ia menolak permintan perwira itu juga bukan karena kemaruk dibayar dengan segepok dollar. Tidak. Tidak sama sekali! 

Kata-kata Prabowo itu membuatnya panas, namun ia berusaha tetap bersikap profesional. Dalam hati sebenarnya ia ngedumel: “Emang pikirnya dia siapa, berani sesumbar akan membayar gaji gua sama dengan yang dibayarkan Elf Aquitaine. Dia saja pangkatnya baru mayor. Paling-paling gajinya hanya Rp 500 ribu...” 

Ego Teddy terhasut. Namun meski emosi Teddy sempat berhitung bahwa saldo tabungannya di bank waktu itu sudah ada ratusan ribu dollar Amerika Serikat. Rumah sudah punya, mobil ada dan deposito di bank ada sekitar Rp100 juta dengan bunga 1,2% per bulan. Kira-kira cukuplah untuk membiayai kebutuhan hidup keluarganya tiap bulan selama setahun. Teddy pun berkata. 

“Gini deh Mas, dua bulan lagi kontrak saya selesai. Saya bantu Anda setahun, gratis!” 

Teddy berkata sambil menatap lurus perwira itu. Ia tak ingin meninggalkan kesan kalau dirinya adalah seorang lelaki pengecut yang tidak nasionalis. Apalagi dia juga adalah anak tentara! Kakek buyutnya bahkan pengikut Pangeran Diponegoro yang dulu berjuang melawan penjajah. 

“Oke, deal…,” kata Prabowo singkat. Lalu mereka berjabat tangan, tanda sepakat. Teddy berjanji akan melatih 4 kompi pasukan. Prabowo terlihat cukup puas meski masih harus menanti dua bulan. 

Setelah Komandan Batalyon Infanteri 328 Kostrad itu pergi Teddy menarik napas panjang. Ia menyedot rokoknya dalam-dalam, berusaha menjernihkan kembali pikirannya yang tadi berkabut. Teddy sangat sadar akan konsekuensi dari janji yang baru saja ia ucapkan. Ia langsung teringat nasihat ayahnya, bahwa seorang kesatria tak akan pernah mundur atau menjilat ludahnya sendiri! 

Di luar kantor Mawar Biru, matahari ibukota telah berubah lembayung, condong ke barat. Bias cahayanya terpantul di kaca jendela gedung-gedung pencakar langit yang basah oleh bekas hujan. Saat Abah Iwan menemuinya, Teddy tak sabar meluahkan perasaannya. Sekali lagi ia menghela napas sambil berkata. 

“Bagaimana Kang. Tadi Prabowo minta saya membantunya?”

“Itu sebuah kehormatan Ted. Tak semua orang mendapat kesempatan untuk berbakti kepada bangsa dan tanah airnya.” 

Teddy mengangguk. Sekarang ia merasa lega. Kata-kata Abah Iwan turut menguatkannya. Setidaknya keputusan yang sudah terlanjur dia ambil bukan langkah yang bodoh. Dia pun yakin Ida istrinya akan mengerti. Apalagi Ida juga adalah seorang anak tentara. 

Lagi pula hanya setahun ia mengemban tugas itu! Setelahnya bisa kembali bekerja seperti dulu. Dengan modal pengalaman kerja dan titel insinyur geologinya yang mentereng, rasanya tidak akan terlalu sulit untuk Teddy mendapatkan pekerjaan baru.

Teddy sekarang lebih tenang. Apalagi setelah mendapatkan nasihat bijak dari Abah Iwan. Bagi Teddy Abah Iwan bukan hanya seorang sahabat, tetapi juga pelatih yang mendidiknya di Wanadri. Seniman itu juga sekaligus mentornya yang membukakan pintu masuk ke dunia militer. 

Sebab Abah Iwan-lah yang memperkenalkannya pada Prabowo. Prabowo sering meminta bantuan Abah Iwan memberikan pelatihan jungle survival dan teknik menggunakan kompas pada pasukan Batalyon Infanteri 328 Kostrad. Dalam percakapan Abah Iwan dengan Prabowo ia sering menyelipkan nama Teddy dalam pembicaraan, baik sadar maupun tidak. 

Abah berkata kepada Prabowo bahwa Teddy selain seorang geolog, juga pakar navigasi dan ahli mengesan dan menafsir jejak di hutan. Prabowo tertarik, karena keterampilan seperti itulah yang dibutuhkan pasukan Batalyon 328 saat dikirim ke medan operasi. 

*** 

Sesuai Janji, dua bulan kemudian Teddy pun mulai melatih pasukan Batalyon Infanteri 328 Kostrad. Ilmu yang ia timba dari kampus ITB sebagai insinyur geologi, pelatihan jungle survival di Wanadri, ditambah lagi pengalamannya sebagai geolog lapangan yang bekerja di hutan Kalimantan benar-benar menjadi modal Teddy dalam melatih para prajurit. 

Mula-mula Teddy hanya melatih navigasi darat di hutan, yaitu skill yang dibutuhkan para prajurit untuk menentukan suatu tempat dan memberikan bayangan medan, mengenai bentang alam dan permukaan bumi lewat bantuan minimal peta dan kompas. 

Mula-mula hanya soal bagaimana membaca peta, peta topografi, membaca skala peta, menganalisis interval kontur, menggunakan kompas dan menemukan titik koordinat. Selanjutnya Teddy juga mengajari para tentara itu mengenali tanda-tanda alam, baik melalui letak matahari, bulan dan rasi bintang untuk mengetahui arah yang tepat saat sedang berada di hutan. 

Selain itu Teddy juga mengajarkan agar para prajurit dapat menggunakan tanda-tanda buatan manusia seperti bagunan masjid, kuburan atau membuat kompas sendiri dari jarum atau silet bermagnet yang diletakkan di atas permukaan air yang rata. 

Cara tradisional yang ia dapat dari pengalaman hidup bersama suku Dayak di hutan Kalimantan juga Teddy ajarkan kepada para prajurit tersebut. Misalnya cara menentukan arah dengan hanya melihat flora dan fauna yang ada di hutan. 

“Tajuk pohon yang lebih lebat kebanyakan berada di sebelah Barat. Lumut jenis Parmelia sp dan Polytrichum sp akan lebih subur dan tebal biasanya kerap berada di sebelah Barat pepohonan,” kata Teddy.

“Selain itu pak?” celetuk seorang tentara.

“Kalau menemukan daun pandan hutan, perhatikan daunnya dominan condong kemana?”

“Kemana pak?”

“Ke timur.”

“Siap..!”

“Semut atau serangga di hutan biasanya meletakkan sarangnya di sebelah barat pepohonan.”

“Siaap!”

“Dimengerti?”

“Siaap, pelatih!” 

Para prajurit itu terkesima. Ada yang terkagum-kagum juga. Mereka mendengarkan setiap materi yang disampaikan oleh Teddy dengan seksama. Ada banyak pengetahuan yang diajarkan Teddy tidak ada dalam buku manual atau modul pelatihan. Misalnya cara membaca jejak ala suku Dayak di Kalimantan.

Sebelumnya Teddy memberikan pelatihan hanya bermodalkan baju lapangan, sepatu kets dan topi rimba. Tetapi belakangan Prabowo juga memberikannya seragam loreng tentara yang khusus dipakai saat memberikan pelatihan. Sikap Teddy yang santun dan ramah langsung mencuri banyak perhatian para pelatih lain maupun siswa didikannya.

[1]footnote 1 [2]footnote 2 [3]footnote 3 [4]footnote 4 [5]footnote 5

LihatTutupKomentar
Cancel