Durian Runtuh 11 Maret

Teddy Kardin, biografi teddy kardin, buku teddy kardin, Teddy Kardin kuliah
Photo Teddy Kardin
Teddy saat mahasiswa berkunjung ke Kampus Lapangan Geologi, Lembaga Geologi dan Pertambangan Nasional. Arsip Teddy Kardin

 

Oleh: Alexander Mering

Ada satu kebiasan yang tak terlupakan oleh Teddy, yaitu setiap kali berburu ayahnya selalu membawa pisau selain senapan. Kardin memiliki pisau Solingen buatan jerman yang bagus dan tajam. Tak seorang pun boleh menyentuhnya, termasuk Teddy. Kebiasaan ayahnya itu membuat Teddy ingin sekali punya pisau sendiri.

Tapi apa boleh buat, waktu itu—setiap kali pergi berburu, baik bersama ayah maupun sendiri—Teddy hanya membawa senapan dan parang dapur dari rumah. Baru tahun 1974 ia memiliki pisau sendiri, itu pun dipinjamkan seorang teman.

Selain berkelahi, hobi Teddy adalah berburu. Ia sama sekali tidak tergoda pada hiburan remaja kota di Bandung di masa itu. Bagi dia tak ada yang lebih menarik di dunia ini selain berkelahi dan berburu!

Akibatnya hampir saja ia tak tidak bisa memilih antara kuliah dan hobinya itu. Beberapa teman akrabnya pun mengolok-olok Teddy.

“Pantas saja lu kuliah sampai 10 tahun.”

Lu lebih banyak berburu sih dari pada kuliah.”

“Iya lu…”

“Ya, berkelahi aja kerja lu.”

“Pilih mana atu?”

“Masa bodo!”

 

Teddy melengos. Ia ogah melayani celoteh teman-temannya itu. Padahal mereka juga sering berburu bersamanya ke hutan. Tak terkecuali Komeng[1] mahasiswa Seni Rupa ITB, angkatan 1972. Tetapi dibandingkan yang lainnya, Komeng hanya sekali sekala saja ikut berburu. Ia malah sering membuat jengkel Teddy dan teman-teman berburunya. Pasalnya setiap kali Komang disuruh berjalan di depan dan melihat hewan buruan, dengan sengaja ia menembakan senapannya ke udara.

Tembakan Komeng bukan untuk melumpuhkan buruan, tetapi untuk mengusir hewan itu agar segera lari menjauh. Dengan demikian maka binatang tersebut selamat dari peluru senapan Teddy dan rekan-rekannya.

Apalagi kalau rusa atau babi hutan itu membawa anak-anaknya, Komeng langsung merasa kasihan. Di antara mereka Komeng memang dikenal sebagai penyayang binatang hingga sekarang. 

Di semester satu dan dua Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung (ITB) nilai Teddy anjlok total. Hampir semua mata kuliahnya ia hanya mendapatkan nilai D. Saat di semester tiga ternyata setali tiga uang juga nilainya, bablas D. Di akhir semester dua Teddy memang sempat berbulan-bulan tidak masuk kuliah karena nyaris mati digigit ular Picung[2] dan harus di rawat di rumah sakit. Karena nilainya buruk, Teddy terancam akan segera Drop Out (DO).

Untunglah di semester empat Teddy banting stir. Meski tak bisa meninggalkan hobinya berburu sama sekali, tapi berkelahi ia kurangi. Di semester ini ia benar-benar fokus belajar dan kuliah. Beberapa temannya meledek, melihat Teddy hampir berubah jadi kutu buku.

Benarlah kata pepatah. Usaha tak akan menghianati hasil. Saat nilai semester diumumkan oleh kampus, mata kuliah Teddy mendapat rata-rata nilai A. Bukan main senangnya perasaan Teddy.


[1] Nama panggilan I Nyoman Nuarta Pematung Indonesia dan salah satu pelopor Gerakan Seni Rupa Baru (1976). Salah satu karyanya yang paling terkenal ada Patung Garuda Wisnu Kencana (GWK) dan rancangan Istana Negara IKN.

[2] Biasa disebut juga ular rumput (Rhabdophis subminiatus), disebut ular picung karena bagian leher belakangnya yang berwarna kemerahan menyerupai buah picung https://id.wikipedia.org/wiki/Ular_picung

LihatTutupKomentar
Cancel