Bunga Silat Terkembang di Depan Polsek

Biografi Teddy Kardin, buku Teddy Kardin, Alexander Mering, Dessy Rizki, The Shadow Knight

Ilustrasi by pixabay

Oleh : Alexander Mering

Meski sudah menjadi mahasiswa di kampus ternama di Kota Bandung, Teddy tak pernah melupakan persahabatannya dengan Abah Marta. Pada saat tidak sedang kuliah, ia selalu menyempatkan diri mengunjungi Abah Marta di kaki Gunung Bukit Tunggul, walau harus menempuh 5 jam berjalan kaki.

Untuk mengusir penat, terkadang Teddy bersiul-siul sepanjang jalan, sambil memperhatikan gadis-gadis muda yang berjalan di pematang sawah membawa boboko[1]. Teddy sengaja memperlambat langkahnya. Matanya menyipit menahan silau matahari senja, sementara senapan Mauser (M67)[2] dipanggulnya di pundak dengan lagak Old Shatterhand dalam novel Winnetou[3].

Semakin jauh Teddy berjalan di keremangan sore menuju pinggir hutan, semakin kentara suara para gadis desa itu berbisik-bisik, sambil memandang ke arah Teddy yang sosoknya berubah menjadi siluet.

Teddy memang sudah lama menjalin persahabatan dengan Abah Marta. Sebelumnya mereka pernah bertemu saat sama-sama berburu di Gunung Bukit Tunggul. Hobi yang sama membuat mereka menjadi akrab. Teddy sering numpang istirahat di pondok Abah Marta. Bagi Abah Marta, Teddy sudah seperti anaknya. Ia juga melihat remaja itu tak hanya tangkas dan berbakat tetapi juga berkarakter kuat. 

Meski Teddy berlatih silat dengan guru yang lain, tetapi Abah Martalah yang mengajak pemuda itu ke mata air Cikuda Keling, yaitu bagian hulu Sungai Cikapundung. Warga setempat menyebutnya tempat mandi ‘Ayam Jago’.  Abah Marta merendam Teddy semalaman di leuwi[4] sungai itu.

“Anjeun dimandian ambeh jadi juara. Lamun gelut, teu gampil dielehkeun,[5]” kata Abah Marta hari itu, seolah-olah sedang membaca mantra.

Suatu siang di tahun 1975, usai mengantar sayur-sayuran dan buah-buahan dagangannya ke pasar, Abah Marta hendak pulang ke kaki Gunung Bukit Tunggul. Teddy mengantarnya naik sepeda motor dari Bandung.

Saat melewati jalan Setiabudi, Lembang, dua sepeda motor melaju kencang melewati Teddy dan Abah Marta. Satu sepeda motor menyerempet Teddy. Refleks Teddy berteriak lantang.

“Hoi! Berhenti lu!”

Kedua sepeda motor itu berhenti tepat di depan Polsek Lembang. Penumpangnya ada empat orang. Dengan wajah kurang senang mereka menghampiri Teddy yang juga langsung berhenti.

Teddy segera turun dari sepeda motor, sementara Abah Marta masih duduk santai di belakang. Teddy berdiri dengan sikap menantang saat orang-orang itu makin mendekat. Teddy bersiap-siap.  

Dugaan Teddy benar, tanpa ba-bi-bu lagi, salah seorang yang bertubuh jangkung menghampiri hendak mencekal lehernya. Tapi Teddy langsung membuat satu gerakan menghindar sambil menyabetkan belatinya ke dada orang tersebut.

“Slassshh!”

Bukan main kagetnya si jangkung. Ia bahkan tak sempat melihat kapan Teddy mencabut pisau itu dari sarungnya. Tahu-tahu ujung belati sudah merobek baju kaos yang dikenakannya, tembus ke dada. Darah merembes cepat, membasahi. Untung saja ia sempat mundur selangkah, sehingga mata pisau Teddy tak terlalu fatal merusak.

“Berhenti!”

“Jangan main pisau!” 

Teriakan dari arah Polsek menghentikan. Teddy menyarungkan belati, tapi tetap berdiri tegak tak jauh dari sepeda motornya. Sementara empat orang asing tersebut mulai tampak ragu dan cemas. Selain karena pak polisi sudah turut campur, juga karena diantara mereka sudah ada yang terluka.

“Ayo, pakai tangan kosong saja kalau berani. Satu lawan satu!” ujar Teddy menantang sembari memasang kuda-kuda.

Telapak tangan kanannya mengembang ke depan, membuat formasi gerakan Tepak Dua[6] sebagai jurus pembuka, seperti yang pernah ia pelajari dari perguruan silat.

Melihat Teddy membuka jurus silat, Abah Marta tak mau ketinggalan.  Dengan gerakan seorang pendekar ia melompat dari atas sepeda motor ke pinggir jalan raya sambil berseru.

“Ulah diseeupkeun Ted, sesakeun hiji keur Abah![7]”

Walaupun posturnya kecil tapi Abah Marta juga adalah seorang guru silat. Orang tua itu juga sudah siap dengan jurus silatnya.

Sikap polisi yang memaksa, merampas belati Teddy, membuat pemuda itu bertambah berang. Ia lantas menarik moncong Mauser (M67) yang tadi disampirkannya di samping sepeda motor.

“Kembalikan pisaunya, atau….!” ancam Teddy sambil menodongkan senapannya. 

Melihat senapan buatan Jerman yang dipegang Teddy, baik pak polisi maupun empat lelaki tak dikenal tadi langsung mundur ke belakang.  Pak polisi yang semula bersikap galak berubah melunak. Mereka berusaha menenangkan Teddy yang emosi. Ketegangan antara Teddy dan polisi dimanfaatkan keempat orang bersepeda motor itu melarikan diri.

Untunglah pada zaman itu, anak tentara seperti Teddy seakan-akan memiliki privilege tersendiri. Karena itu ia tak sampai ditangkap gara-gara membawa-bawa senjata api ke sana ke mari.



[1]  Bakul anyaman rotan atau bambu untuk membawa makanan, sayuran khas Sunda.
[2] Meskipun waktu SMA ia senang menggunakan Jungle M1, tetapi karena ayahnya banyak koleksi senjata api Teddy juga sering gonta-ganti senjata hingga kelak ia menyukai jenis Lee-Enfield, senjata resmi tentara Inggris.
[3] Adalah seorang Kepala Suku Indian Apache dalam novel karangan Karl May di sekuel Winnetou I sampai Winnetou III. Winnetou adalah sahabat baik Old Shatterhand.
[4] Istilah dalam Bahasa Sunda untuk menyebut bagian sungai yang dalam dan airnya tidak mengalir.
[5] Terjemahan bebas bahasa Sunda yang artinya: Kamu dimandikan supaya jadi jagoan, dan tak mudah kalah kalau berantem.
[6] Yaitu salah satu jenis Kembang Pencak dalam gerakan pencak silat Sunda yang biasanya diiringi irama lebih lambat sebelum ke Buah Pencak yang berfungsi sebagai gerakan beladiri.
[7] Bahasa Sunda yang artinya: Jangan dihabiskan Ted, sisakan satu untuk Abah!

LihatTutupKomentar
Cancel