Antara Gunung Bukit Tunggul dan Kampus Cap Gajah

Alexander Mering, Dessy Rizki, The Shadow Knight, Gunung Bukit Tunggul, ITB,
sumber: bandungbergerak.id


Oleh : Alexander Mering

Hari itu sudah lebih dari seminggu Teddy pergi meninggalkan rumah. Seluruh anggota keluarga menduga-duga kalau Teddy pergi ke pondok Abah Marta di kaki Gunung Bukit Tunggul. Karena tahu ke mana anaknya pergi, Kardin seperti acuh tak acuh saja.

Tetapi tidak demikian dengan Soekaeni. Ia sangat khawatir pada masa depan anak lelakinya tersebut. Sedangkan semua kakak-kakaknya sudah kuliah. Pada saat yang sama teman-teman seangkatan Teddy sedang sibuk mempersiapkan diri mengikuti ujian masuk perguruan tinggi.

Kekhawatiran sang ibu bukannya tak beralasan. Meskipun Soekaeni tahu Teddy anak yang cerdas, tetapi sejak dulu remaja itu terlalu asyik pada hobinya sendiri yaitu berburu dan berkelahi! Gara-gara ulah Teddy di SD, SMP hingga SMA, sudah tak terhitung berapa kali ia dipanggil pihak sekolah.

Ingin rasanya Soekaeni mengadu pada sang suami sekali lagi, tapi ia sudah dapat menebak apa jawaban suaminya nanti. Kardin itu bukan saja seorang perwira tentara, tetapi juga adalah ayah yang tegas dan sangat keras kepada anak-anaknya.

Tapi Soekaeni tak putus asa. Hari itu juga ia memanggil dua orang teman akrab Teddy ke rumah, yaitu Prasidi Widya Sarjana dan Iwan Bungsu (Iwan Hignasto). Wanita itu meminta bantuan mereka membujuk Teddy agar segera pulang ke rumah.

Prasidi dan Iwan Bungsu setuju meskipun sudah sangat mengenal watak Teddy. Mereka sama-sama tahu bahwa tugas yang diberikan Soekaeni pastilah bukan misi sekali jalan. Maka mulailah keduanya setiap hari Jumat, Sabtu, dan Minggu bertandang ke tempat Teddy mengasingkan diri.

Sebelum berangkat tak lupa mereka menyiapkan beberapa bungkus rokok, gula, kopi dan kue-kue kegemaran Teddy sebagai oleh-oleh. Tentu saja kehadiran kedua sahabatnya tersebut membuat senyum Teddy mengembang. Tak hanya Teddy yang bahagia, keluarga Abah Marta juga ikut gembira mendapat tamu.

Pada saat keduanya pamit pulang ke Bandung, Teddy membekali teman-temannya itu daging hasil buruan. Oleh Prasidi dan Iwan Bungsu, daging tersebut dijual kepada Dr. Mulyono Alibasah (paman Iwan Bungsu). Uangnya mereka belikan lagi gula, kopi, dan rokok sebagai buah tangan setiap kali mengunjungi Teddy. Teddy merasa beruntung memiliki teman-teman yang sangat baik.

Prasidi yang pagi itu merasa mendapat angin, mencoba pasang omong ke Teddy, saat mereka sedang menyeruput kopi di tengah-tengah pondok.

“Ted, rencananya kapan lu pulang ke Ciumbuleuit? Ibu lu khawatir tuh.”

“Hmm.”

“Oh ya, sebentar lagi tes masuk perguruan tinggi akan dibuka. Lu kagak ikut daftar apa?”

“Hmm.”

“Kok, hmm doang. Serius dong?”

Prasidi mendesaknya. Yang ditanya malah garuk-garuk kepala. Teddy sebenarnya sudah mencium tujuan kedua sahabatnya. Dari gelagat kunjungan rutin setiap Jumat, Sabtu atau Minggu itu pasti ada maksudnya. Kalau tidak, mana mungkin kunjungan kedua sohibnya terjadwal rapi dan seteratur itu. Tapi baiklah, ia juga ingin ‘mempermainkan’ kedua sahabat kentalnya.

“Ntar deh...”

“Kok, ntar?”

“Ya, ntar.”

“Ah, sudahlah.”

Prasidi mulai agak jengkel. “Buset orang ini. Susah amat diajak kompromi,” pikirnya. Tapi itulah Teddy. Tak hanya wataknya yang keras, tetapi juga kepala dan pendiriannya juga tegas. Kalau menurut dia adalah A, ya hanya A, tidak akan bisa lagi berubah jadi B, atau C.

Negosiasi minum kopi Minggu pagi itu tak membuahkan hasil apa-apa. Prasidi dan Iwan Bungsu kembali ke Bandung dengan perasaan kecewa. Namun bukan sahabat namanya jika baru begitu saja sudah menyerah. Sebab tak cuma Soekaeni yang tak rela anaknya gagal masuk kuliah, mereka berdua pun tak mau kehilangan sahabat kentalnya yang keras kepala itu.

Di lain pihak keduanya juga yakin Teddy tidak hanya berburu saja selama ‘pelariannya’. Sejak hari pertama mengunjungi Teddy, Iwan Bungsu merasa sempat melihat buku tes masuk perguruan tinggi yang sampulnya sudah lusuh teronggok di sudut pondok Abah Marta. Prasidi meyakinkan Iwan Bungsu, bahwa dia pun melihatnya juga.

“Saya juga melihatnya.” 

“Lu yakin?”

“Yakin, hakulyakin!”

“Hmm. Cocok….”

Tiga hari menjelang tes masuk perguruan tinggi, Iwan Bungsu dan Prasidi bergegas ke pondok Abah Marta lagi untuk kesekian kalinya. Misi harus segera dituntaskan. Maka tanpa basa-basi lagi keduanya meminta paksa Teddy segera pulang. Teddy yang sebenarnya sudah bersiap-siap langsung meraih ransel, menyandang senapan dan pulang ke Ciumbuleuit. Prasidi dan Iwan Bungsu melihat sikap Teddy hanya melongo, tetapi hati keduanya gembira. Seperti mendapatkan anak domba yang hilang. 

Saat melihat bumbungan rumahnya di kejauhan, Teddy mulai berdebar-debar. Kali ini ia benar-benar berharap ibu dan ayahnya sedang tidak di rumah sehingga tak harus menjawab banyak pertanyaan. 

Tapi ternyata di rumah ibunya sudah menunggu. Meski ibunya wanita yang halus dan lemah lembut, tapi kali ini Teddy tak berani memandang langsung wajah ibunya. Ia hanya duduk tertunduk di ruang keluarga, siap-siap kena damprat. Teddy maklum, untuk hal-hal yang prinsip dan menyangkut masa depannya, ibu pasti tak akan tinggal diam. Soekaeni mulai bicara.

Kumaha ceuk anjeun![1] Orang lain belajar mau tes, kamu maneh ngan ulin wae[2]!”

“Ya, Mam.”

“Kamu daftar sebanyak-banyaknya, ya. Mana tahu ada satu yang diterima.”

“Baik, Mam.”

Teddy sebenarnya sudah tahu apa yang harus ia lakukan. Persis hari H pendaftaran, dia pun memilih jurusan geologi, kehutanan, teknik sipil, dan akuntansi di 5 perguruan tinggi sekaligus. Salah satunya adalah di Institut Teknologi Bandung (ITB), salah satu kampus impian banyak anak muda. 

Beberapa anak muda Bandung memelesetkan ITB sebagai Kampus Cap Gajah karena lambangnya berupa Ganesha, yaitu dewa dalam mitologi Hindu yang berkepala gajah dan bertubuh manusia. Tentu saja ITB adalah salah satu kampus paling keren di Indonesia dan melahirkan banyak ilmuwan, pejabat dan para teknokrat hebat di Indonesia. Apabila merujuk pada sejarah, ITB adalah sekolah tinggi teknik pertama di Indonesia sekaligus lembaga pendidikan tinggi pertama di Hindia Belanda. 

Usai mengikuti tes masuk perguruan tinggi, Teddy tidak ke mana-mana. Ia ‘puasa’ berburu. Padahal masuk hutan, menembak hewan buruan bagi Teddy adalah hobi yang kenikmatannya melebihi berbagai jenis hiburan remaja di Kota Bandung di zamannya. Tak ada yang lebih menarik minat Teddy remaja kala itu selain berkelahi dan berburu!

Suatu siang, semua anggota keluarga Kardin sedang berkumpul di ruang makan. Kardin memang mewajibkan seluruh anggota keluarga makan bersama jika sedang berada di rumah. Sambil menanti makan siang disiapkan, radio besar merk Philips kesayangan keluarga dinyalakan untuk mendengarkan pengumuman hasil tes masuk perguruan tinggi calon mahasiswa baru.

Perasaan Teddy berdebar-debar menanti. Meskipun dia yakin bakal lulus tes, tetapi tak urung jidatnya berkeringat saat suara penyiar radio menyebutkan satu persatu nomor peserta yang dinyatakan lulus tes.

“Horee, diterima!” teriak Teddy tiba-tiba saat nomor tesnya disebutkan. Hidungnya kembang kempis mengetahui dirinya lolos tes. Namun senyum Teddy tak berlangsung lama, karena ayahnya langsung menyeletuk.

“Jangan senang dulu kamu. Namamu tak disebutkan, siapa tahu nomornya salah.” 

Teddy langsung mengkerut. Selera makannya jadi hilang. “Ini orang tua gak percaya banget sih sama anaknya sendiri,” gumam Teddy dalam hati. Tapi ia sudah sangat yakin bahwa nomor yang disebutkan pembawa acara di radio itu tidak meleset!

Beberapa hari kemudian, datanglah beberapa surat ke rumah. Ternyata itu adalah pemberitahuan resmi dari universitas mengenai kelulusan Teddy. Salah satunya dari ITB.

“Bisa juga kamu ya,” celetuk sang ayah melihat amplop di tangan Teddy.

Saat makan malam, Teddy terlihat sangat riang dan percaya diri. Apalagi setelah semua anggota keluarga tahu ia dinyatakan resmi lulus tes masuk perguruan tinggi. Dengan agak songong Teddy pun langsung pasang omong di hadapan seluruh anggota keluarga.

“Eee, sebenarnya hari ini saya bingung,” kata Teddy sambil melirik ke arah ibunya. 
“Lo, bingung apa, Ted? Kan kamu sudah dinyatakan lulus?” kata sang ibu dengan wajah sedikit keheranan.
“Bingung milihnya mam, lima-limanya diterima, hehehe...”
“Ala…, belagu, lu!” celetuk sang Ayah.

Semua tertawa. Seluruh keluarga gembira. Ruang makan pun jadi meriah.

[1] Bahasa Sunda yang berarti: bagaimana sih kamu ini!
[2] Bahasa Sunda yang berarti: kamu malah main melulu

LihatTutupKomentar
Cancel