Bocah Pemburu dan Kijang Betina yang Malang
Teddy Kardin SMP, The Shadow Knight, Jejak Petualangan Profesional Intelektual Teddy Kardin, Alexander Mering, Dessy Rizki, The Shadow Knight
Ilustrasi by pixabay |
Oleh : Alexander Mering
Pekarangan rumah Kardin lumayan luas. Di sebelah kanan ditanami pohon apel dan pepaya. Namun demikian tetap ada celah-celah untuk Kardin melatih anak-anaknya menembak. Batasya dengan tetangga adalah sebuah tanggul yang cukup tinggi sehingga peluru tidak akan nyasar ke rumah sebelah. Di Tempat itulah kaleng, botol, buah apel atau apa saja diletakan untuk menjadi sasaran tembak. Dari jendela rumah pun mudah untuk membidik. Latihan menembak hampir dilakukan setiap hari. Tak ada jadwal khusus. Setiap ada kesempatan Dor! Dor! Dor! Berkali-kali.
Teddy sendiri sudah berlatih menembak sejak masih SD. Senapan yang sering dipakai mereka berlatih adalah Jungle M1, CIS Kaliber 22 dan Kaliber 30. Tetapi Teddy lebih senang menggunakan Jungle M1, yaitu jenis senapan semi otomatis dengan daya bunuh tinggi.
Saat usia Teddy 15 tahun, ayahnya mengajak Teddy berburu ke kawasan hutan sekitar Kawah Kamojang yang terletak di perbatasan Bandung dengan Kabupaten Garut. Kawasan itu adalah tempat sumber panas bumi yang terkenal di Indonesia. Jaraknya hanya sekitar 48,5 km dari Ciumbuleuit.
Pada hari itu Teddy dan ayahnya membawa 4 ekor anjing pemburu. Anjing-anjing terlatih itu beberapa kali berhasil mengepung dan mengejar hewan buruan keluar hutan, tapi sayangnya tak satu pun yang berhasil dalam jangkauan senapan. Padahal Culik, salah satu anjing pemburu Teddy sudah tampak kelelahan.
Karena sudah menjelang sore, Teddy dan ayahnya pun pergi ke warung-warung yang berjejer-jejer di pinggir hutan untuk istirahat. Keduanya ingin melepas penat. Ayah Teddy langsung memesan secangkir kopi, sementara Teddy yang kebelet pipis—tanpa melepas Jungle M1 di pundaknya—buru-buru ke hutan kecil yang terletak di belakang warung.
Baru saja selesai menarik resleting celana—usai pipis—Teddy melihat ada sosok berwarna coklat yang mencurigakan, bergerak di balik semak-semak. Tapi karena cahaya sore mulai meredup, ia tak dapat melihat dengan jelas. Padahal jaraknya hanya sekitar sepelempar tombak dari tempat Teddy berdiri.
“Hmm, kambing apa kijang ya?” tanyanya dalam hati.
Perlahan-lahan Teddy merunduk. Kakinya pun hanya digeser sedikit, agar tak menimbulkan suara. Seperti lagak seorang pemburu kawakan ia menajamkan penglihatan. Teddy harus memastikan apakah itu seekor kijang atau kambing warga. Sebab tempat itu memang tak begitu jauh dari pemukiman, sehingga tak mustahil ada ternak berkeliaran di sana.
Selama ini Teddy belum pernah menembak hewan buruan besar. Dia hanyalah pemburu pemula yang harus puas mendengar cerita sang ayah tentang ciri-ciri beberapa hewan di hutan. Tanpa melepaskan pandangannya sedikit pun, Teddy berusaha keras mengingat-ingat ciri-ciri kijang yang ada di kebun binatang.
Beberapa menit kemudian binatang itu memutar badan, membelakangi Teddy. Teddy menyibakkan daun yang menghalangi pandangannya. Kali ini ia dapat melihat dengan lebih jelas punggung dan buntut binatang itu. Warna putih!
“Kijang…,” bisiknya pada diri sendiri.
Perlahan-lahan Teddy mengarahkan moncong senapannya ke hewan tersebut. Saat pisir pejera jungle M1 di tangannya telah persis di titik sasaran, dengan menahan nafas Teddy menarik pelatuknya perlahan.
“Dooorrrrr!”
Sosok di depannya itu langsung roboh. Letusan senapan Teddy yang memecah keheningan membuat ayah Teddy yang sedang menyeruput kopi tersentak kaget. Dengan nada marah ia membentak.
“Teddy nembak apa kamu?!”
“Mencek[1] Pap… ”
“Yang benar saja kamu. Kambing orang itu!?”
“Bukan Pap. Mencek asli....”
Kardin buru-buru menyusul Teddy. Culik berlari-lari di belakangnya. Kardin kurang yakin pada jawaban anaknya tadi.
Tak jauh dari tempat Teddy berdiri Kardin melihat seekor hewan teronggok di tanah, meregang nyawa. Salak Culik menggema, meyakinkan Kardin bahwa anaknya tidak salah tembak.
Kardin tersenyum puas. Tapi senyum Teddy yang paling lebar tentunya. Sebab jarang-sekali ia melihat air muka ayahnya sedemikian senang. Apalagi hewan yang ia tembak itu adalah kijang betina yang sedang bunting, berbobot sekitar 34 kg.
“Bisa juga kamu menembak,” puji Kardin yang tak dapat menyembunyikan rasa bangganya.
Hidung Teddy kembang kempis mendapat pujian. Ia merasa bangga sekali, karena sejak SD berlatih menembak dan ikut ayahnya berburu ke hutan, tapi baru kali ini senapannya mendapatkan tuah.
Suara anjing dan ribut-ribut di belakang warung mengundang orang datang berkerumun. Beberapa warga Kamojang bahkan ikut-ikutan memeriksa, seakan-akan masih tak percaya bahwa bocah itu berhasil menembak kijang.
Ada juga yang membantu Teddy memotong daging. Dagingnya dibagi-bagikan kepada warga. Hanya sebagian saja yang Teddy dan ayahnya bawa pulang.
Saat mereka sedang membersihkan hewan tersebut, ada orang tua yang memberi usul kepada Teddy.
“Den[2] minum air ketubannya.”
“Ha? Untuk apa Pak?”
“Supaya kuat.”
“Buset...”
Teddy menelan ludah sambil menoleh ke arah ayahnya. Tapi ekspresi pria itu sedang sulit ditebak: mengiyakan tidak, melarang pun tidak.
Kardin sendiri memang pernah mendengar petuah orang-orang tua zaman baheula mengenai khasiat minum air ketuban kijang. Tapi apakah anak seusia Teddy sudah boleh melakukannya? Kardin sendiri belum pernah membuktikan kebenaran mitos tersebut.
Sementara ayahnya sedang berpikir, Teddy sudah terlanjur meraih wadah. Ditampungnya air ketuban kijang itu lalu ditenggaknya hingga tandas.
“Glek, glek, glek.”
Kardin terpesona. Meski dia seorang tentara dan pemburu hebat, tapi ia sendiri belum sanggup melakukan hal tersebut. Beberapa remaja lain yang melihat kejadian itu hanya melongo, ada pula yang mual menahan muntah.
Matahari senja sore semakin condong ke barat. Warnanya perlahan-lahan berubah menjadi jingga ketika Teddy dan ayahnya meninggalkan hutan kawasan Kawah Kamojang. Dari kejauhan sosok anak dan ayah yang berjalan beriringan tersebut membentuk siluet memanjang yang perlahan-lahan menghilang ke balik gelap.
“Anak yang hebat!”
“Ya, karena punya ayah yang hebat.”
[1] Dalam bahasa Sunda berarti kijang
[2] Panggilan untuk anak laki-laki dalam Bahasa Sunda.