Cilik, Culik, Musuh dan Seorang Sahabat

Alexander Mering, Dessy Rizki, The Shadow Knight, Cilik, Culik, Anjing Teddy Kardin, Sahabat Teddy Kardin
Ilustrasi by pixabay

Oleh : Alexander Mering

Jalan Rancabentang di Ciumbuleuit dan sekitarnya pada era tahun 70 hingga 80-an tentu belum seramai sekarang. Meskipun termasuk kawasan elite di Bandung, jalannya sudah beraspal dan dialiri listrik, tetapi kawasan bekas pemukiman pegawai perkebunan Belanda itu masih terasa sepi, terutama pada malam hari. Apalagi jarak antara rumah yang satu dan rumah yang lain berjauhan.

Karena itulah banyak keluarga yang memelihara anjing di Ciumbuleuit, tak terkecuali keluarga Kardin. Selain berguna untuk menjaga rumah dan kebun apel, anjing-anjing itu juga sering diajak berburu ke hutan. Karena itu dari kecil Teddy sudah terbiasa bermain-main dengan anjing peliharaan ayahnya. Teddy sangat menyayangi hewan-hewan peliharaan tersebut.

Ketika Teddy disunat, saat kelas 5 SD, Kardin memberinya hadiah seekor anak anjing kampung kecil yang lucu. Bulunya hitam dengan sedikit bercak putih. Walaupun bukan jenis anjing pemburu, tetapi Teddy senang sekali menerima hadiah tersebut. Ia memberi nama anjingnya itu Cilik. Selain Cilik Teddy juga memelihara seekor anjing pemburu yang ia beri nama Culik.

“Sekarang gua punya anjing sendiri,” kata Teddy pamer kepada salah seorang temannya.

“Lu kasih nama apa anjing lu?”

“Yang ini Cilik, yang satunya Culik…”

“Kok namanya jelek?”

“Biarin, anjing-anjing gua, masalah lu apa?”

Sang teman terdiam. Teddy memang mudah meradang, apalagi kalau ada yang mencela atau meledeknya. Teman-temannya maklum. Kalau ada yang berani membantah langsung diajaknya ribut. Salah satu yang sering berantem dengan Teddy adalah Tengku Rachmat Achmadsyah (Ade). Tapi kadang-kadang mereka juga berteman akrab.

Cilik dan Culik tumbuh bersama Teddy. Kemanapun Teddy pergi Cilik akan menemani, kecuali ke sekolah atau berburu ke hutan. Kalau Teddy berburu ia membawa Culik. Jika ada orang asing yang mengganggu Teddy, Cilik langsung beraksi. Dialah yang maju duluan saat mengetahui Teddy mendapat ancaman. Salah satunya saat Teddy berkelahi hebat dengan Cip tetangganya, seorang anak Indo-Belanda.

Nama lengkapnya Iwan Sucipto Mulyono. Perkelahian sebenarnya dipicu oleh aksi Teddy yang sedang mendekati Marina, adik Cip. Belakangan ini Teddy memang sering mengajak Marina nonton dan main bareng.

Sebagai abang tentu saja Cip berusaha melindungi adik perempuannya yang masih SMP dari para lelaki iseng. Cip pun datang menemui Teddy di rumahnya.

“Eh, Ted. Lu jangan ganggu adik gua.”

“Apa urusannya? Kita suka sama suka.”

“Pokoknya gak boleh.”

“Kalau gua nekat?”

“Kalau perlu saya hentikan dengan kekerasan.”

“Arrrrgh!”

Teddy menggeram. Tapi ia masih menahan diri sebab ia sangat mengenal Cip. Selain bertetangga ia juga tahu Cip jago Karate. Posturnya pun lebih besar dan lebih tinggi. Maklum gennya separuh bule. 

Teddy sebenarnya tidak takut berkelahi. Tapi ia masih mencari akal dan waktu yang tepat untuk mengalahkan Cip. Baru keesokan harinya Teddy mengintai Cip lewat di depan rumahnya. 

Waktu itu sudah agak sore. Suhu udara mulai turun perlahan di Ciumbuleuit. Tapi bocah SMP yang masih mengenakan celana pendek itu sepertinya sama sekali tak merasa dingin. Ia datang mencegat Cip yang kebetulan lewat.

“Cip, berantem yuk!“

“Gua tidak boleh berkelahi kalau bukan di pertandingan?”

“Lu takut?”

Belum sempat Cip menjawab, sebuah bogem mentah sudah mengarah ke wajahnya. Namun dengan mudah Cip berhasil mengelak. Pukulan Teddy mengenai angin. Berkali-kali Teddy menyerang, tetapi tak satu pun yang kena sasaran. Teddy tambah penasaran.

Dalam hati Teddy diam-diam mengakui kalau Cip memang petarung beneran, sedangkan dirinya hanya tukang berkelahi jalanan. Sebagai atlet karate Cip memang teruji. Sambil berusaha mempercepat serangan Teddy sibuk memutar otak. Ia sedang merencanakan sebuah tipu muslihat. Sebab kalau hanya main jotos, tak lama lagi dirinya pasti terdesak.

Sementara Teddy menyerang, Cilik sibuk menyalak. Anjing itu berusaha mengincar betis Cip. Tetapi gerakan pemuda itu terlalu cepat. Malah satu tendangan tumit Cip sempat mendarat di moncongnya. Cilik terkaing-kaing kesakitan. 

Teddy pun pura-pura melihat lurus ke belakang Cip. Mengira sedang ada orang di balik punggungnya, Cip ikut menoleh. Celah yang sangat sempit itu dimanfaatkan Teddy. Ia menerkam Cip dari belakang, menjambak rambut dan menekan leher Cip dengan jempol kanannya kuat-kuat. Akibatnya remaja itu mengap-mengap, kesulitan bernapas. Akal bulus Teddy sukses. Tapi Cip memiliki teknik bertarung yang baik. Meski dalam keadaan terjepit, ia masih dapat menghantam rusuk Teddy dengan tusukan siku yang kuat. Teddy pun mengerang kesakitan.

Karena gagal dengan serangan tangan kosong, Teddy memungut bongkahan batu jalan untuk menyerang. Cip kerepotan. Situasi itu membuat pertahanannya terbuka, sehingga Teddy berhasil menyarangkan satu hantaman batu ke tengkorak Cip. Remaja bongsor itu tersungkur ke tanah. Kepalanya berdarah. 

Teddy yang kalap kembali mengambil batu yang lebih besar. Ia hendak menimpuk kepala Cip sekali lagi sebab khawatir lawannya itu segera siuman dan akan membalas. Cilik menyalak hebat.

“Ted…, istighfar Ted….!!!”

LihatTutupKomentar
Cancel