Antara Diponegoro, Kakek Buyut dan Ayah Teddy Kardin
Kedua orang Tua Teddy Kardin: ME Kardin Sargani dan Onok Soekaeni. Arsip TK |
Oleh: Alexander Mering
Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap Belanda
tahun 1830, pasukan dan pengikutnya pun kocar-kacir ke mana-mana. Salah seorang
di antaranya bernama Bapak Gede, asal Mataram[1]. Tak ada cerita rinci tentang siapa sebenarnya
lelaki tersebut dan apa perannya dalam perang Diponegoro.
Teddy hanya tahu bahwa Bapak Gede adalah kakek
dari ME Kardin Sargani, ayahnya. Itu bermakna dirinya adalah cicit dari lelaki
tersebut. Sayangnya sang kakek buyut sudah tiada saat Teddy lahir. Namun
kisahnya selalu membekas di kepala Teddy yang masih bocah.
Sekali lagi tak ada yang dapat membuktikan klaim
asal-usul sang kakek buyutnya itu, selain namanya saja yang cocok dengan nama
bekas pusat kesultanan Mataram di Jawa Tengah, yaitu Kotagede[2]. Namun berdasarkan potongan-potongan kisah
yang diceritakan ayahnya, konon karena diuber-uber Belanda, kakek buyutnya itu
lari ke Cirebon.
Tapi keberadaan Bapak Gede di Cirebon masih tercium
Belanda, maka ia lari lagi ke sekitar Ciparay dan Majalaya, yaitu sebuah
kawasan yang subur di daerah Bandung Timur. Di sanalah Bapak Gede memulai hidup
baru menjadi penggembala bebek sampai bertahun-tahun kemudian ia sukses menjadi
tuan tanah yang kaya raya.
Kisah-kisah mengenai kakek buyut dus pekerjaan ayahnya yang seorang serdadu
sangat mempengaruhi Teddy kecil. Sosok Kardin muda tidaklah terlalu tinggi,
tapi bertubuh kekar sehingga disegani kawan maupun lawannya di medan
pertempuran.
Sebelum menjadi tentara, Kardin adalah seorang
guru Bahasa Inggris di SMP Pasundan, di Bandung. Namun karena Belanda ogah
melepas Indonesia yang baru saja merdeka, Kardin muda turut bergabung sebagai
anggota Tentara Keamanan Rakyat (TKR)[3] dengan pangkat Letnan Dua.
Di tahun-tahun itu negara memang sedang butuh
banyak pemuda yang mau menjadi tentara. Ada semacam aturan waktu itu, siapa pun
yang berhasil merekrut 100 orang bergabung menjadi anggota TKR, maka yang
bersangkutan berhak langsung menjadi Komandan Kompi (Danki).
Tapi rupanya Kardin hanya berhasil membujuk 30
orang pemuda saja. Makanya ia hanya berhasil diangkat menjadi Komandan Peleton.
Lumayan, yang penting cita-citanya kesampaian, turut berjuang mengusir
penjajah!
Pendidikan militer dan pengalamannya sebagai
tentara menempa Kardin menjadi lelaki yang berdisiplin tinggi, kuat dan
tangguh. Sikap tersebut pun ia terapkan saat mendidik anak-anaknya ketika ia
berkeluarga.
Sementara istrinya adalah wanita cantik dari
Garut. Kebalikan dari Kardin, Soekaeni adalah perempuan yang lemah lembut.
Entah bagaimana ceritanya wanita sehalus Soekaeni bisa menerima cinta serdadu
yang keras dan kasar itu. Cinta memang aneh bin ajaib, jangankan hati manusia, asam
di gunung pun bisa bersatu dengan garam dari laut. Seperti Yin yang lengket
pada Yang[4]
dan sebaliknya.
Meski Teddy kecil belum mengerti apa-apa di balik
sejarah dan dogeng keluarganya, tetapi dalam hati ia merasa sangat bangga
terlahir dari garis keluarga pejuang.
“Hmm. Ternyata nenek moyang gua bukanlah orang sembarangan…,” gumam Teddy sambil berbaring di
dipan kamarnya yang empuk. Senyumnya terkembang, pikirannya menerawang
jauh.
Ia teringat pada gambar pahlawan Diponegoro di
dinding sekolah. Yaitu sosok lelaki berbaju putih yang menunggang kuda hitam,
bersorban putih besar—seperti sorban Sultan Sulaiman dari Turki—sembari tangan
kirinya menggenggam keris.
Lelaki gagah bernama asli Raden Mas Mustahar[5]
itu seharusnya menjadi raja menggantikan ayahnya. Tetapi ia malah memilih mengangkat
senjata melawan penjajah Belanda yang menindas rakyat. Sayangnya hidup sang
pahlawan harus berakhir dalam penjara di pengasingan, akibat dicurangi oleh
Jenderal De Kock.
Teddy termenung sejenak. Tak terbayangkan olehnya
bagaimana nasib para pengikut Diponegoro setelah sang pahlawan ditangkap. Malam
itu Teddy kecil nyaris tak bisa memejamkan mata. Bayangan sosok Pangeran
Diponegoro, Bapak Gede dan ayahnya seperti slide,
bertukar-tukar silih berganti di benak.
Teddy menarik selimut sambil mengubah posisi
tidurnya. Malam semakin larut di Ciumbuleuit. Suara serangga malam dan jangkrik
yang biasanya heboh—di semak-semak, dekat kebun apel ayahnya—di samping rumah,
perlahan-lahan menjadi sayup, seakan-akan tercekik cuaca dingin yang terasa
menusuk.
[1] Para sejarawan
mengidentifikasi sebagai nama geografis wilayah administratif Jawa Tengah dan
Daerah Istimewa Yogyakarta (abad 8) atau periode pertama kerajaan Mataram.
Namun Mpu Sindok memindahkan ibu kota kerajaan ini ke Jawa Timur yang
diperkirakan antara Gunung Semeru dan Gunung Wilis (abad ke 9-10). Etimologi
nama "Mātaram" berasal dari istilah bahasa Sanskerta yang berarti
"ibu".
[2] Beberapa literatur menyebutkan
bahwa abad ke-16, Kotagede, Daerah Istimewa Yogyakarta pernah menjadi ibu kota
Kerajaan Mataram Islam.
[3] TKR kemudian hari berubah
menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) dan selanjutnya disahkan secara resmi
oleh Presiden Soekarno menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada tahun
1947.
[4] Kalimat yang dikutip dari diary Wisnu Pamungkas (2009). Ada banyak
penafsiran tentang Yin dan Yang, namun dalam aliran Taoisme secara sederhana
Yin dan Yang dapat diartikan sebagai dua elemen yang saling berseberangan
tetapi saling bertaut dan melengkapi.
[5] Tahun 1805 berganti menjadi
Raden Mas Ontowiryo oleh eyang (kakeknya) yaitu Sultan Hamengkubuwono II,
selanjutnya tahun 1812 ketika ayahnya naik tahta menjadi Hamengkubuwono III, ia
diberi gelar pangeran dengan nama Pangeran Diponegoro.