Pisau dan Kehormatan

buffalo skinner Teddy Kardin, pisau Teddy Kardin, buffalo skinner, pisau terbaik Teddy Kardin, pisau dan kehormatan, kilau empu pisau

 
buffalo skinner Teddy Kardin
Teddy Kardin memegang buffalo skinner keramatnya. Photo Iren Quarto

Oleh : Alexander Mering

Kilau Empu Pisau

Bukan main bahagianya Teddy ketika salah satu seniornya di Wanadri, yaitu Eddy Purnomo (Kang Omo) memberinya pisau buffalo skinner buatan Jerman tahun 1974. Kang Omo adalah anggota Wanadri angkatan Tapak Rimba. Sejak saat itu pisau itu seakan lengan ketiga Teddy, tak pernah lepas dan tak terpisahkan. 

Pisau bagi Teddy bukan hanya alat bantu kehidupan, tapi adalah kehidupan itu sendiri. Bahkan menurut para ahli sejarah pisau lebih dulu ada di muka bumi ini ketimbang homo sapiens, yaitu sekitar 2,6 juta tahun yang lalu.

Meskipun tampaknya sederhana tetapi pisaulah yang memungkinkan manusia tetap bertahan hidup sampai hari ini. Karena itulah ke mana pun pergi Teddy selalu ditemani buffalo skinner. Entah berapa banyak kali pisau itu menyelamatkan hidup Teddy dari mara bahaya, dan membantunya tetap survival di mana pun berada.

Suatu hari, saat sedang melakukan survei minyak untuk Elf Aquitaine di Sungai Ratah, dalam kawasan hutan di hulu Sungai Mahakam mereka berpapasan dengan seekor induk babi hutan. Meskipun seorang pemburu tetapi Teddy ngeri juga jika sampai diseruduk babi yang taringnya runcing tersebut.

Dalam kondisi darurat Teddy langsung melempar induk babi galak tersebut dengan teknik combat style agar pisaunya dapat meluncur tanpa terhalang oleh banyak akar pohon dan ranting di sekitarnya. Buffalo skinner itu menancap telak di tubuh babi. Tapi binatang itu tidak langsung mati, hewan liar seberat 70 kg itu mengamuk dan menyeruduk apa saja yang ada di sekitar.

Barangkali karena membentur batu atau batang pohon yang keras, pisau yang masih menancap di tubuhnya patah dan terjatuh. Teddy tak hanya marah pada babi brutal tersebut, tetapi juga sangat kecewa karena pisau kesayangannya sudah tidak utuh lagi.

Blareq memungut pisau itu kembali dan menyerahkannya kepada Teddy. 

“Buang saja!” 

“Jangan dibuang Pak, pisau ini ada penunggunya.”

Penunggu yang dimaksud Blareq adalah makhluk gaib yang menyertai pisau tersebut. Tak hanya Blareq, beberapa porter Dayak yang bekerja pada Teddy percaya bahwa buffalo skinner itu tidak sekadar benda mati. Karena dalam sistem kepercayaan tradisional Masyarakat Adat Dayak, benda-benda seperti pohon, batu, kayu uga bisa memiliki sifat gaib.

Teddy menurut saja. Lagi pula yang patah hanya bagian ujung pisau yang runcing saja, sedangkan ujung pisau ke gagang masih utuh, bahkan tulisan original buffalo skinner di pisau itu masih ada.  Oleh Blareq ujung pisau kemudian diperbaiki hingga lancip seperti sediakala meski menjadi lebih pendek. 

Nalau, adik angkat Teddy kemudian mengukir pisau itu dengan motif Dayak, sementara Hangin adik perempuan Nalau membuat pengikat gagangnya yang retak dari anyaman rotan sehingga menjadi kokoh kembali. Teddy yang tadinya kecewa seakan melihat pisaunya dilahirkan kembali dalam wujud yang lebih indah dan sempurna. Buffalo skinner di tangannya kini adalah hasil perpaduan antara teknologi Jerman dan budaya Dayak Aoheng.

Pisau inilah yang kelak selalu dibawa Teddy berkeliling Nusantara, dari ujung barat ke ujung timur Indonesia. Menemaninya naik kuda di Sumbawa dan operasi militer dari Aceh, Papua hingga Timor Timur.

LihatTutupKomentar
Cancel