Pisau dan Kehormatan
Teddy Kardin memegang buffalo skinner keramatnya. Photo Iren Quarto |
Kilau Empu Pisau
Bukan main bahagianya Teddy ketika salah
satu seniornya di Wanadri, yaitu Eddy Purnomo (Kang Omo) memberinya pisau buffalo skinner buatan Jerman tahun 1974. Kang Omo
adalah anggota Wanadri angkatan Tapak Rimba. Sejak saat itu pisau
itu seakan lengan ketiga Teddy, tak pernah lepas dan tak terpisahkan.
Pisau bagi Teddy bukan hanya alat bantu
kehidupan, tapi adalah kehidupan itu sendiri. Bahkan menurut para ahli sejarah
pisau lebih dulu ada di muka bumi ini ketimbang homo sapiens, yaitu sekitar 2,6
juta tahun yang lalu.
Meskipun tampaknya sederhana tetapi
pisaulah yang memungkinkan manusia tetap bertahan hidup sampai hari ini. Karena
itulah ke mana pun pergi Teddy selalu ditemani buffalo skinner. Entah berapa banyak kali pisau itu menyelamatkan
hidup Teddy dari mara bahaya, dan membantunya tetap survival di mana pun berada.
Suatu hari, saat sedang melakukan survei
minyak untuk Elf Aquitaine di Sungai Ratah, dalam kawasan hutan di hulu Sungai
Mahakam mereka berpapasan dengan seekor induk babi hutan. Meskipun seorang
pemburu tetapi Teddy ngeri juga jika sampai diseruduk babi yang taringnya
runcing tersebut.
Dalam kondisi darurat Teddy langsung
melempar induk babi galak tersebut dengan teknik combat style agar pisaunya dapat meluncur tanpa terhalang oleh
banyak akar pohon dan ranting di sekitarnya. Buffalo skinner itu menancap telak di tubuh babi. Tapi binatang itu
tidak langsung mati, hewan liar seberat 70 kg itu mengamuk dan menyeruduk apa
saja yang ada di sekitar.
Barangkali karena membentur batu atau
batang pohon yang keras, pisau yang masih menancap di tubuhnya patah dan
terjatuh. Teddy tak hanya marah pada babi brutal tersebut, tetapi juga sangat
kecewa karena pisau kesayangannya sudah tidak utuh lagi.
Blareq memungut pisau itu kembali dan
menyerahkannya kepada Teddy.
“Buang saja!”
“Jangan dibuang Pak, pisau ini ada
penunggunya.”
Penunggu yang dimaksud Blareq adalah
makhluk gaib yang menyertai pisau tersebut. Tak hanya Blareq, beberapa porter Dayak yang bekerja
pada Teddy percaya bahwa buffalo skinner itu tidak sekadar
benda mati. Karena dalam sistem kepercayaan tradisional Masyarakat Adat Dayak,
benda-benda seperti pohon, batu, kayu uga bisa memiliki sifat gaib.
Teddy menurut saja. Lagi pula yang patah
hanya bagian ujung pisau yang runcing saja, sedangkan ujung pisau ke gagang
masih utuh, bahkan tulisan original
buffalo skinner di pisau itu masih
ada. Oleh Blareq ujung pisau kemudian
diperbaiki hingga lancip seperti sediakala meski menjadi lebih pendek.
Nalau, adik angkat Teddy kemudian mengukir
pisau itu dengan motif Dayak, sementara Hangin adik perempuan Nalau membuat
pengikat gagangnya yang retak dari anyaman rotan sehingga menjadi kokoh
kembali. Teddy yang tadinya kecewa seakan melihat pisaunya dilahirkan kembali
dalam wujud yang lebih indah dan sempurna. Buffalo
skinner di tangannya kini adalah hasil perpaduan
antara teknologi Jerman dan budaya Dayak Aoheng.
Pisau inilah yang kelak selalu dibawa Teddy
berkeliling Nusantara, dari ujung barat ke ujung timur Indonesia.
Menemaninya naik kuda di Sumbawa dan operasi militer dari Aceh, Papua hingga
Timor Timur.